AGAMA SEBAGAI INSTITUSI DALAM DILEMMA


AGAMA SEBAGAI INSTITUSI DALAM DILEMA
PENDAHULUAN

Dalam dilemma orang dihadapkan dalam satu pilihan dari dua alternative yang berlawanan ( antara ya dan tidak). Celakanya memilih ya juga salah, memilih tidak juga tidak benar. Pada saat agama itu menjadi institusi dan selama masih dekat dengan saat pendiriannya, agama itu belum mengalami kesulitan yang berarti, bahkan sebaliknya mungkin sekali hanya mengalami zaman situasi cultural dan sosialnya jauh berbeda dengan situasi tempat berdirinya, maka agama itu akan menghadapi problem baru yang sulit dipecahkan.
Masyarakat dari zaman ke zaman berjalan menuju ke bentuk- bentuk kehidupan yang lebih sempurna melalui trend berpola yang disebut proses sosial ( sosial proses), dengan laju kecepatan yang dapat berbeda- beda untuk kurun zaman yang satu dan yang lain. Dalam proses sosial tersebut terjadilah fenomena baru yang tidak dapat ditahan yaitu perubahan sosial ( social change). Ada satu hal yang menonjol dari keseluruhan proses perubahan itu, yaitu bahwa agama tidak atau belum mengalami perubahan, agama dengan situasi yang baru itu tinggal tetap sama seperti pada titik waktu sebelumnya. Keadaan agama yang tetap sama dalam situasi yang telah berubah inilah yang emnimbulkan masalah yang sulit yang disebut dilemma. Kesulitan ini dialami khususnya oelh umat beragama itu sendiri ( dari unsure pimpinan dan bukan pimpinan) dan baru kemudian menimpa juga para ilmuwan ( ahli filsafat, teologi, sosiologi, dll), dalam mencari pemecahannya.

A.      DAMPAK DILEMMA RELIGIUS

Agama merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mengalami kelambanan sosial (social lag). Kelambanan dalam ukuran yang besar yang menimbulkan dilemma contohnya ialah yang dihadapi agama Kristen dalam abad ke- 16 dan ke- 20 menjelang konsili Vatikan II. Contoh dari dunia ketiga khususnya bagi agama islam di Iran, masuknya pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan perubahan sosial yang mendalam, terutama kegoncangan susunan nilai dan budaya asli di Iran, konfrontasi yang tajam antara kebudayaan asli dan kebudayaan asing yang bercorak Barat. Islam dihadapkan dengan pilihan dilemmatik antara mempertahanan karisma islam yang asli ( otentik) atau berkompromi dengan tuntutan zaman teknologi modern.
Dampak dilemma yang dihadapi setiap agama yang telah menjelma dalam institusi:
1.       Jika agama mau mempertahankan kemurnian ( otentik) pendirinya sepanjang zaman dari masa ke masa dalam pagar- pagar kepranataan yang tak tertembus oleh pengaruh pemikiran baru, maka karisma itu tak akan tersentuh dan tak akan berkembang.
Agama itu sendiri akan kehilangan daya tariknya karena tidak sanggup menyajikan kekayaannya kepada manusia menurut selera zamannya. Di sisi lain karisma itu akan mengalami erosi dan kehilangan pamornya jika agama membiarkan berkembang bebas tanpa memberikan pembatasan dalam peraturan yang diikuti dengan pengawasan yang cermat.
2.       Agama dihadapkan pula dengan pilihan yang sulit berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan ( kepemimpinan karismatis atau rasional). Bila agama membentuk kepemimpinan yang karismatis, pilihan itu akan mendatangkan kesulitan yang tidak kecil, ada keutungan dan juga kerugian. Keuntungannya antara lain agama dapat dikembangkan dengan kepesatan yang luar biasa berkat “ karisma” yang dimiliki pemimpin, tetapi dibalik itu kekuasaan seorang pemimpin yang karismatis dapat berubah menjadi kekuasaan yang sewenang- wenang, diktatorial dan mutlak. Jika memilih bentuk pemimpin yang rasional, ia tidak bebas pula dari kesulitan yang tidak kalah beratnya. Keuntungannya antara lain kemungkinan akan tindakan sewenang- wenang dari pemimpn agama sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat oleh wakil- wakil golongan yang ada dalam agama itu. Namun kerugiannya bahwa agama yang berbentuk yuridis formal akan menjurus ( kenyataannya) ke rutinitas, birokrasi dan stagnasi.

Jalan keluarnya adalah dengan mengambil jalan tengah, bentuk kepemimpinan merupakan suatu gabungan dari kepemimpinan karismatik dan rasional. Dalam kenyataannya pemimpin agama lantas merupakan kombinasi dari kekuasaan agama dan kekuasaan masyarakat, dan bentuk kepemimpinan yang terjadi bahwa kekuasaan agama sama dengan kekuasaan Negara. Akibatnya ialah nilai religius yang khas milik agama tertentu menjadi campur dengan nilai cultural masyarakat setempat. Bahwa suatu agama identik dengan kebudayaan suatu bangsa menimbulkan akibat merugikan bagi agama itu sendiri, antara lain:
·            Kredibilitas agama tersebut cenderung untuk diragukan oleh kalangan pemeluk agama yang terdidik ( intelektual). Ciri khas agama adalah “ penyerahan diri secara rela dan spontan” kepada Tuhan menjadi lenyap karena orang masuk agama dengan sendiri atau paksaan lingkungan sekitar.
·            Dengan adanya ajaran ( ideologi) agama yang bercampur dengan system budaya masyarakat setempat, jiwa konservatisme asli ( setempat) bertumbuh dan bertambah kokoh, karena mendapat pupuk yang baik dari konservatisme agama yang bersangkutan.
·            Kehidupan agama yang dikendalikan oleh pemimpin yang religius bersama dengan pemimpin sekuler ( profan) mengundang munculnya intoleransi ( tidak tenggang rasa) terhadap golongan lain. Persekutuan pemimpin agama dengan pemimpin masyarakat mendatangkan sikap- sikap intoleransi dan membuat agama itu sendiri tak berfungsi baik ( disfungsional), dan situasi ini menimbulkan gerakan anti agama.
3.       Dilemma lain yang dihadapi ialah yang berkenaan dengan masalah uniformitas dan pluriformitas. Jika agama menitikberatkan perkembangannya dalam bentuk kesatuan (uniformitas) yang absolute, maka hal ini akan menimbulkan dan de fakto. Jika kemungkinan untuk pluriformitas ( keanekaragaman) penghayatan tidak diizinkan, hal ini akan menimbulkan banyak kesulitan. Penghayatan agama ialah cara- cara perayaan agama atau liturgy, jadi tidak bersangkutan dengan ortodoksi tetapi dengan ortopraksi, tetapi jika pintu untuk penghayatan dalam bentuk aneka ragam dibuka lebar, hal ini juga menimbulkan masalah yang tidak sedikit. Bertolak dari sudut pandang kesatuan dan keanekaragaman, setiap agama emmang menghadapi dilemma.

4.       Dilemma simbolisasi keagamaan
Agama- agama berusaha menjelaskan hal- hal yang rohaniah, yang abstrak dan supra- empiris, dengan lambang- lambang yang diambil dari dunia benda yang konkret mudah ditangkap oleh pancaindra. Namun penggunaan dunia perlambangan itu sendiri melibatkan umat beragama dalam kesulitan yang berujung dua. Di satu pihak jika perkara- perkara rohani itu tidak dapat dibendakan ( dalam lambang- lambang) , maka arti dan makna dari hal- hal yang abstrak itu tidak akan dapat ditangkap oleh otak manusia, tetapi jika diobyektifkan dalam symbol juga menimbulkan kesulitan. Pikiran dan perasaan manusia dibelokkan kepada benda tiruan yang dapat meyesatkan dari yang sebenarnya. Maka tidak terlalu menherankan jika sebagian pemeluk agama institusional meninggalkan imannya dan mencari gantinya pada lingkungan lain ( aliran kepercayaan) dimana tidak ada ibadat yang formalitas.
5.       Unsur- unsur keagamaan lain yang menimbulkan dilemma, misalnya peraturan- peraturan moralistis yang dikeluarkan berabad- abad yang lalu namun masih berlaku bagi umat yang hidup dalam zaman modern.
Dari penelusuran tentang luasnya dan dalamnya permaslahan yang dihadapi semua agama dapat ditarik kesimpulan bahwa agama sebagai fenomena sosial yang berbentuk institusi mendatangkan bukan saja berkat tetaoi juga laknat bagi masyarakat, dan usaha untuk menghilangkan dan sekurang- kurangnya menipiskan laknat itu harus ditempuh melalui rintangan- rintangan yang dilemmatik.

B.      PENGARUH SEKULARISASI TERHADAP AGAMA

Istilah sekularisasi mendapat arti yang berbeda- beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan. Di anatar banyak arti yang berbeda itu terdapat satu aspek yang sama, ialah dua variable yang saling dipertentangkan, urusan agama atau urusan keduniawian, atau dengan kata lain yang sacral dengan yang profan. Kata “ sekularisasi” berasal dari kata Latin “ saeculum” yang berarti “ dunia” yaitu dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai- nilainya yang sering disebut nilai duniawi. Dari kata dasar “ saeculum” dibentuk kata “ saecularis” atau “ sekuler” yang diberi arti “ serba duniawi” dalam arti yang baik.
Sejak abad yang lalu hingga saat ini terdapat dua macam sekularisme, yaitu:
a.       Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau ideologi yang mencita- citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama.
b.      Sekularisme moderat ialah pandangan hidup ( ideologi) yang mencita- citakan otonomi nilai duniawi dengan mengikutsertakan Tuhan dan agama.
Namun dalam kenyataannya pegertian sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang ekstrem atau negatif. Dua jenis sekularisme tersebut dijabarkan dalam usaha konkret atau gerakan yang disebut sekularisasi. Jika sekularisme adalah suatu ideologi maka sekularisme adalah suatu gerakan sosial.
Sekularisasi adalah suatu gerakan ( sosial) yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai- nilai keagamaan. Gerakan sekuler yang tidak mengikutsertakan Tuhan dan nilai- nilai keagamaan disebut dengan istilah sekularisme dalam arti peyoratif ( negatif). Dalam alam pikiran dan praktek dari manusia sekuler ada pembedaan tegas ( bukan penolakan) antara nilai duniawi dan nilai supra- duniawi yang asli sejati. Seperti halnya dunia supra- empiris mempunyai tempat dan otonominya sendiri, demikian pula dunia empiris mempunyai tempat dan otonominya sendiri.




Kewajaran sekularisasi
Sekularisasi merupakan hal yang wajar karena berakar atas pertimbangan yang wajar:
Ø  Adalah hal yang masuk akal bahwa dalam mengurus hal duniawi manusia berani memikul tanggung jawab dan tidak melemparkan tanggung jawab itu kepada instansi lain, karena dunia seisinya diserahkan kepada manusia.
Ø   Adalah wajar bahwa nilai- nilai duniawi berkembang dengan kekuatan sendiri dan tidak perlu berlindung di bawah nilai- nilai supra- duniawi.
Ø  Adalah hal yang sewajarnya apabila Tuhan yang lain dari yang lain tidak dijadikan “ keranjang sampah” tempat melemparkan tanggung jawab atas kegagalan yang dibuat manusia sendiri.
Ø   Sudah tiba waktunya bahwa semua agama membersihkan diri dari beban tambahan yang bersifat takhyul dan mitologis, baik yang membenani ajarannya maupun praktek peribadatannya.
Semua penganut agama perlu mengadakan “ de-mitologisasi dan desakralisasi” dalam arti yang baik. Dalam konteks ini sekularisasi memberikan sumbangan yang berharga kepada agama- agama, yaitu pemurnian hakekat agama dan refungsional yang asli sejati, namun dilandasi atas sikap yang dewasa. Berdasarkan pengalaman umum baik dari masa lampau maupun sekarang gerakan sekularisasi yang wajar perlu menghindari dua ujung yang penuh bahaya, yaitu:
a.       Humanisme ateis, menghasilkan nilai- nilai semu manusiawi seperti martabat manusia, kebebasan dan otonominya. Dikatakan semu bahkan palsu karena nilai- nilai tersebut kehilangan hakekat otentiknya, bisa dilepas dari Sumbernya, yaitu Tuhan yang transenden.
b.      Spiritualisme irrealis ( kosong) akan membuahkan rasa frustasi dan sikap benci ( bahkan anti) terhadap apa saja yang bersifat rohani, termasuk agama. Sikap berat sebelah yang hanya menitikberatkan tercapainya kepuasan rohani, lepas dari kewajiban mengusahakan kebutuhan duniawi adalah sikap mental yang tiak berpijak atas landasan yang nyata.

Tanggapan agama terhadap sekularisasi
Tujuan yang hendak dicapai sekulatisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan tujuan agama adalah memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat. Terdaqpat perbedaan dalam cara bekerja, sekularisasi menggunakan tenaga empiris semata- mata yang tersedia di dunia ini, agama mendayagunakan kekuatan supra- empiris yang datang dari dunia lain.
Sikap agama terhadap sekularisasi secara umum dapat dikatakan agama bersikap mendua, bahwa :
a. Agama bersikap mendukung
Dapat dilihat dari segi ideal ajaran dan maksud pendirinya yaitu memanusiakan manusia. Agama berusaha menjelaskan ajarannya secara rasional dengan bantuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris.
b. Agama juga menentang sekularisasi.
Agama bermaksud memajukan umat dengan melepaskan yang lama tetapi sekaligus agama mau mempertahankan yang lama, memegang teguh model- model pemikiran lama dan pola- pola tindakan dari masa lampau. Sikap dualistis ini menjadi penghalang untuk menerima model pemahaman dan pengalaman agama yang baru.

C.      GOYAHNYA KAIDAH KEAGAMAAN

Agama pada umumnya selalu dipandang sebagai tempat legitimasi, artinya manusia baru merasa puas atas perbuatannya yang begini atau begitu dibenarkan ( atau disalahkan) oleh agama. Krisis agama timbul karena dua hal:
1. Proses psikologis
Timbul dalam alam kejiwaan manusia yang sadar atau di bawah sadar merasa bahwa setiap peraturan dalam bentuk perumusan hukum bersifat membatasi ( membatasi nilai dan kebebasan). Nilai yang tidak dibatasi dipandang sebagai nilai yang terbaik dan sekaligus nilai yang tak terbatas. Dengan jalan pertama manusia menurunkan nilai yang tak terbatas itu dalam bentuk simbol- simbol ( dalam dunia perlambangan), manusia masih berada di dunia ilusi, dan belum tinggal di dunia nyata, jadi belum memiliki yang tak terbatas dan yang terbaik itu secara konkret. Jalan kedua manusia membuat peraturan hokum, mengatur cara- cara yang dapat dibenarkan dalam rumus- rumus peraturan.
2. Benih- benih krisis yang secara potensial ( implisit) terkandung dalam ordo simbolis dan tata hukum bertumbuh dan berkembang menjadi krisis yang nyata dalam situasi lain, dimana struktur masyarakat berubah sebagai akibat dari proses sosial. Kaidah- kaidah susila keagamaan mulai diragukan kebenarannya dan daya lakunya karena semakin melebarnya jarak antara ordo imaginer dan ordo real, antara tuntutan hokum dan tidak mungkinnya dilaksanakannya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa norma- norma hukum kehilangan kekuatannya apabila infra struktur norma- norma itu runtuh dan lenyap. Infra struktur itu tak lain adalah subyek hukum beserta ruang lingkup kebudayaannya. Sementara itu para penganut agama dari waktu ke waktu menjadi semakin sadar bahwa hokum keagamaan yang ditentukan oleh kekuasaan sentral, baik yang sifatnya etis maupun administrative, dan yang semula berlaku absolut, ternyata tidak demikian. Semua ini sekaligus membuktikan bahwa kewibawaan kepemimpinan agama mengalami krisis.

D.      KRISIS KEWIBAWAAN

Krisis kewibawaan pada umumnya tidak lain merupakan suatu bentuk proses sekularisasi menuju tercapainya otonomi ( kedaulatan) manusia dengan melawan kekuasaan yang dipandang tidak adil. Fungsi kekuasaan bersifat komplementer ( melengkapi). Kata kekuasaan (kewibawaan) dalam bahasa Latin “ auctoritas”, yang berasal dari kata kerja “ augeo- auxi – “ auctum” yang artinya menambah, melengkapai. Tugas kekuasaan (auctoritas) pada hakekatnya hanyalah menambah dan melengkapi usaha orang lain ( anak didik, bawahan) untuk kemudian dapat diberi sendiri sebagai manusia yang berdaulat ( otonom) yang mampu menentukan pilihannya sendiri.

Proses Awamisasi
Pengertian awamisasi mempunyai arti dan konotasi negatif sama dengan “ anti klerikal” sedangkan menurut arti positif ialah usaha kaum awam untuk ikut mengambil bagian dalam tugas pelayanan agama untuk mana tidak diperlukan pentahbisan khusus. Dalam bidang kemsyarakatan dan kenegaraan dipakai istilah demokrasi. Awamisasi dan demokrasi mempunyai titik persamaan terletak pada bahwa awamisasi maupun demokrasi sebagai faham dan gerakan berasal dari satu kandungan yang sama, yaitu agama Kristen, dan perbedaannya terletak dalam perkembangan bentuk dan manifestasinya.

Demokratisasi dalam masyarakat profan
Dapat dibenarkan kalau dikatakan bahwa demokrasi Barat itu sutau diktatur tersembunyi dari kelas kaum kaya, demokrasi Timur sebagai diktatur kaum rakyat, dan demokrasi dunia III hanyalah suatu demokrasi semu. Namun di samping ekses- ekses negative itu demokrasi dan demokratisasi mengandung nilai- nilai mausiawi yang terhormat, patut didukung dan dikembangkan, antara lain:
1. Semua model demokrasi beserta praktek negatifnya tidak bermaksud menghapus eksistensi kekuasaan dari ruang hidup kemasyarakatan sebagai unsure sosiologis yang penting.
2. Semua usaha pendemokrasian mau mengontrol kekuasaan, hendak mencegah kewenang- wenangan dari yangberkuasa untuk melindungi dan mengembangkan martabat manusia beserta hak- hak asasinya.
3. Mau minta pertanggungjawaban dari pejabat- pejabat kekuasaan sesuai dengan norma- norma yang telah disepakati bersama demi kepentingan bersama.
Dahulu tuntutan demokrasi yang muncul dari dalam kelompok kecil intelektual dapat dibungkam oleh yang berkuasa dan tata hidup masyarakat dapat berjalan seperti sediakala. Namun konstelasi masyarakat modern yang dihuni oleh menusia- manusia yang sudah dewasa mental- spiritual dan material menuntut suatu system “ cybernetica” baru, suatu seni pengemudian yang memungkinkan keterlibatan penuh tetapi teratur rapi dari semua pihak.

Demokratisasi ( awamisasi) dalam kehidupan agama
Dalam agama yang telah menjadi institusi terdapat struktur kekuasaan yang tidak selalu menguntungkan bagi tercapainya cita- cita agama pada umumnya, yaitu merasa dipanggil untuk membebaskan manusia ( penganutnya) dari semua unsur tekanan yang tidak manusiawi. Meskipun dalam sumber asli ajarannya tidak terdapat istilah “ pembesar” atau “ penguasa” melainkan istilah “ abdi” atau “ pelayan” atau istilah “pemuka” umat, karena semua adalah saudara. Walaupun seluruh misi keagamaan adalah “ diakonia” atau “ pelayanan”, namun dalam sejarah perkembangannya terasa adanya sikap amat segan untuk mengikuti proses demokratisasi dan lebih suka mengikuti system pemerintahan absolute. Kenyataan ini bukan hanya terjadi pada agama Islam, tetapi juga pada agama Kristen yang memang merupakan induk semang demokrasi.
Bentuk- bentuk reaksi terhadap kekuasaan agama khususnya dalam Gereja Kristen, yang muncul dalam sejarah, antara lain sebagai berikut:
1. Sebagian dari umat beragama menjauhkan diri dari pengaruh/ kuasa agama ( Gereja), seperti dikenal ada skisma Timur ( abad ke- 11) dan skisma Barat (abad ke- 16) Menjauhkan diri berarti membebaskan diri dari kekuasaan sentral dan membentuk pusat- pusat kekuasaan baru sebagai kekuasaan tandingan.
2. Sebagian umat yang menyingkir dari kehidupan beragama lalu meninggalkan praktek keagamaan disertai rasa dendam terhadap pimpinan agama ( Gereja) yang sering disebut dengan kata “ antiklerikalisme”, gerakan menuntut supaya kekuasaan Ggereja berada di bawah control sepenuhnya dan dilaksanakan menurut asas demokrasi.
3. Sebagian umat yang tidak mengikuti gerakan antiklerikalisme, menuntut supaya tugas- tugas pelayanan agama yang tidak memerlukan tahbisan “ imamat jabatan” diserahkan kepada kaum awam, disebut gerakan “ awamisasi”. Motivasi yang mendorongnya bukan karena kurangnya kepercayaan atau jumlah imam, melainkan atas kesadaran yang dewasa bahwa kaum awam mempunyai tempatnya tersendiri ( sebagai status awam), mempunyai hak dan wewenang khusus, dalam pengembangan agama ( gereja) yang tidak perlu diserahkan kepada klerici. Mereka mau ikut dalam proses pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan pelayanan (diakonia) Gereja, sehingga dapat ikut bertanggung jawab atas hidup matinya Gereja.

E.        JALAN KELUAR

Jalan keluar disini bukanlah resep eksak sebagai hasil penelitian, namun berupa harapan- harapan, yaitu:
1. Umat beragama hendaknya meningkatkan kesadarannya akan nilai- nilai demokrasi ( yang wajar). Sekularisasi dan demokrasi adalah hal yang wajar, yang perlu diterima baik dan dihayati secara wajar.
2. Untuk membuktikan bahwa agama ( khususnya Gereja) mempelopori perwujudan cita- cita demokrasi ke dalam dan ke luar hendaknya struktur pemerintahan agama ( hirarki) memberikan tempat sewajarnya kepada kaum awam dimana unsur awam mempunyai hak bersuara untuk ikut menentukan kehidupan agama ( Gereja).
3. Tugas- tugas keagamaan yang sifatnya tidak memerlukan jabatan imamat khusus hendaknya diserahkan kepada kaum awam. Perlu ada perubahan dari pola tradisional, maksudnya awam hendaknya tidak hanya diberi hak suara konsultatif, tetapi suara yang decisif ( definitif). Berarti hak veto tidak saja ada pada tangan gembala umat, tetapi juga pada tangan awam.
4. Penaggulangan krisis kewibawaan melalui jalur ilmu,antara lain kesediaan pemimpin agama untuk mendorong pengadaan penelitian mengenai masalah penggembalaan umat dari pandangan sosiologis dan menggunakan kesimpulan- kesimpulan yang dihasilkan.

Suatu kejadian historis yang besar dalam abad ke- 20 ini, khususnya berlangsung dalam Gereja Katholik. Umat di seluruh dunia merasa bangga dan gembira karena Gereja telah menanggapi tantangan zaman modern dengan mengadakan konsili Vatikan II ( 1963- 1965). Tujuan utamanya adalah penyegaran dan peremajaan Gereja. Hasilnya dituangkan dalam dekrit tentang jabatan uskup ( Cristus Domicus), dekrit tentang Kerasulan Awam ( Apostolicam Ac tuositatem), Konstitusi dogmatika tentang Gereja ( Lumen Gentium), Konstitusi tentang Gereja dalam dunia modern ( Gaudium et Spes), dll, namun bukan berarti bahwa segala kesulitan kekuasaan Gereja dan kedaulatan kaum awam telah teratasi. Satu hal yang tampak dan dirasakan umum ialah bahwa ketegangan antara kekuasaan pusat dan instansi- instansi lain dalam agama Kristen mulai berkurang.

Post a Comment

Komentar Anda tidak merubah apapun...!

Lebih baru Lebih lama