TASYRI’ PADA MASA DINASTI UMAYYAH (661-750 H)


      A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ajaran Islam yang kristalnya berupa al qur’an dan as Sunnah diyakini pemeluknya dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu, tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadits dalam memahami hukum Islam, ada pula yang longgar melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam dari masa ke masa mulai zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadits sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga masa tabi’it tabi’in ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar hukum dalam member solusi atas problem-problem baru yang muncul.
Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa dinasti umayyah yang mempunyai masa pemerintahan lebih kurang 91 tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran-pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada masa ini dan yang terkait di dalamnya.
      B. RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, maka pada makalah ini penulis akan membatasi bahasan sebagai berikut:
a. Kondisi hukum islam dan perkembangannya pada masa tabi’in / dinasti Umayyah
b. Sumber-sumber Islam pada waktu itu
c. Pengaruh ahlul Hadits dan ahlur Ra’y, dan
d. Pemikiran hukum Islam Khawarij, Syi’ah dan Jumhur
      C. PEMBAHASAN
1.             Kondisi hukum Islam dan perkembangannya pada masa tabi’in / dinasti Umayyah
Klasifikasi perkembangan hukum islam (fiqh) pada era tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan munculnya pergolakan-pergolakan yang muncul berasal pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan akhirnya memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Pergolakan-pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga mengantarkan pada era kodifikasi dan munculnya para imam madzhab[1].
Secara umum para tabi’in pada masa ini mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, merreka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
1.1. Penggunaan Rasio
Ada kecendrungan baru dari beberapa ahli hukum Islam (fuqoha) untuk memandang hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid an Nakha’I,seorang ahli fiqh irak guru Hammad bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalis kepada Abu Hanifah.
Aliran ini tidaklah berjalan mulus, tetapi banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah menyeleweng dari manhaj sahabat, bahkan berpaling dari ajaran Rasulullah SAW. Dengan munculnya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki suatu krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu Syihab Zuhri, seorang ahli Hadits pada waktu itu pernah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran”[2].
Sufyan bin Uyainah, Ayyub Sahtayani, Abu Umar, Auza’I dan Sya’bi adalah ulama terkemuka yang paling vokal menolak gagasan Ibrahim. “Pendapat mereka itu sebenarnya lebih patut dibuang di toilet”, kata Sya’bi[3].
Namun tidak berarti fragmentasi fiqhiyyah pada periode ini memasung perkembangan fiqh. Sebab, meskipun muncul beberapa reaksi agak keras, namun apresiasi terhadap gagasan Ibrahim dan ulama Irak, pro maupun kontra, sangat terasa.
Dalam beberapa pertemuan dan dialog yang mereka adakan untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dan di munculkan, di irak dan Hijaz dapat ditangkap beberapa isyarat yang memungkinkan kedua belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara satu dengan lainnya. Ulama Hijaz yang kaya akan Hadits dan fatwa-fatwa sahabat dipaksa menjawab persoalan yang belum timbul pada masa Nabi SAW dan sahabat. Demikianlah kebiasaan ulama Irak memprediksikan suatu peristiwa yang belum muncul itu menuntut ulama Hijaz untuk menggali tujuan moral, illah dan hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan suatu hukum. Sebaliknya ulama Irak juga sering kali mencabut pendapatkan yang diketahui, setelah melalui berdialog dengan ulama HIjaz, bertentangan dengan sunnah Nabi SAW[4].
Pada perkembangan berikutnya terjadilah pembaharuan, pluralisme dan heterogenitas pemikiran baik di Irak ataupun Hijaz sendiri yang sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyyah.
1.2. Meluasnya Ruang Ikhtilaf
Konsekuensi lain dari kontroversialisme pemahaman fiqh tadi adalah meluasnya ruang ikhtilaf pada periode ini. Dr. Thaha Jabir dalam bukunya”Adabul Ikhtilaf Fil Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu sebanarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Utsman adalah khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari 300 sahabat pergi ke Basrah dan kufah, sebagian lagi ke Mesir dan syam[5].
Penyebaran sahabat ke berbagai daerah tersebut punya pengaruh tersendiri terhadap perkembangan fiqh, paling tidak perluasan ikhlilaf di kalangan tabi’in. itu dapat dipahami karena masing-masing daerah memiliki perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fikih dalam mengantisipasi masalah-masalah yang muncul.
Dalam batas-batas tertentu, karena perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat, mereka sering berbeda dalam satu masalah yang sama. Namun persoalannya tidak sampai di situ, pergolakan-pergolakn politik sejak terbunuhnya Utsman, pindahnya markas kakhalifahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai konfrontasi yang banyak memakan korban jiwa, juga faktor yang harus disebut dari meluasnya ikhtilaf pada periode ini. Ikhtilaf ini semakin melebar sekaligus meruncing ketika konfrontasi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan daulah Umayyah menimbulkan berbagai aliran dan sekte. Pada saat itu muncul aliran Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya.
2.         Sumber-sumber hukum Islam
Sumber-sumber tasyri’ pada masa ini ada empat, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Al ijma’ dan Al Ijtihad dengan jalan Al Qiyas atau dengan salah satu metode untuk Istimbat hukum. Seorang mufti bila dimintai fatwa terhadap suatu permasalahan dan dia menemukan nash dalam Al Qur’an atau As Sunnnah yang menunjukan hukum atas persoalan tersebut, maka ia akan berpegang terhadap nash tersebut dan tidak akan menggunakan dasar yang lain. Bila dalam suatu kasus, dia tidak menemukan nash untuk mengatasinya tetapi mendapati ijma’ dari para mujtahid salaf mengenai kasus tersebut, maka ia pun memeganginya untuk memberikan hukum. Sedang bila dia tidak menemukan nash tentang kasus itu dan tidak menemukan ijma’ dari hukum yang dimaksud, maka ia pun berijtihad dan mengistimbatkan hukum dengan jalan yang telah ditunjukan oleh syara’[6].
3.         Pengaruh ahlul Hadits dan ahlur Ra’y
Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah di masa Nabi SAW. dan Khulafa al Rasyidun, Damaskus dimasa dinasti Umayyah, dan Baghdad dimasa dinasti Abbasiyyah. Penguasa dinasti Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz, kelihatannya kurang memperhatikan perkembangan pemikiran keagamaan. Mereka lebih memusatkan perhatian di bidang politik. Sehingga ketika itu pemikiran politik dan pemikiran keagamaan berjalan sendiri-sendiri. Penguasa dinasti Abbasiyyah melihat sikap semacam itu tidaklah tepat. Karena mereka berupaya agar pemikiran keagamaan dikembangkan bersamaan dengan perkembangan politik dan filsafat. Para imam madzhab yang tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan akan dihukum[7].
Dimasa Kulafa al Rasyidun, penguasa adalah juga alim, menyatu dalam diri khalifah ilmu agama dan kekuasaan. Penguasa dinasti umayyah kecuali Umar bin Abdul aziz dan penguasa dinasti Abbasiyyah tidak tahu banyak tentang syari’at Islam dan metode-metode berijtihad. Urusan agama diserahkan kepada ulama, sedangkan urusan pemerintahan dan politik dipegang oleh khalifah.
Setelah Islam berdialog dengan masyarakat luar Arab lebih jauh, peranan akal menjadi penting dalam menjembatani kesenjangan teks keagamaan dengan persoalan baru. Dalam perkebangan selanjutnya, dalam pemikiran hukum Islam dikenal kelompok “ahlur Ra’y”, kelompok yang berani menggunakan akal, yang berkembang di Irak, dan kelompok “ahlul Hadits”, kelompok yang terikat sekali dengan teks harfiyah Al qur’an dan Al Hadits, yang berkembang di Hijaz. Keduanya ini muncul bukan karena rekasa pemerintah, tetapi muncul dari ketulusan hati mereka untuk memberlakukan syari’at Allah SWT di muka bumi. Perkembangan pemikiran ini berada di luar kontrol pemerintahan, karena seperti disebutkan di muka bahwa para penguasa pemerintahan bukanlah orang-orang yang menguasai pengetahuan Agama[8].
3.1. Ahlul Hadits
Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain ajaran islam itu diperoleh dari al Qur’an dan petunjuk dari Nabi SAW saja, bukan yang lain. Disamping disebut as Sunnah, petunjuk dari Nabi SAW juga disebut al Hadits. Karena itu kelompok ini disebut ahlul Hadits. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah. Karrena penduduk hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rasul disbanding dengan penduduk di luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota Islam, beredar Hadits Nabi SAW yang jauh lebih banyak dan lengkap disbanding dengan daerah lain mana pun. Semua persoalan hukum dan dan budaya sudah terjawab oleh teks wahyu (al Qur’an dan al Hadits). Sehingga pada masa itu Hijaz dikenal sebagai pusat Hadits[9].
Pada masa khulafa al Rasyidun, sumber hukum Islam adalah apa yang diriwayatkan oleh Nabi (al Qur’an dan al Hadits). Di masa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa sahabat. Ketika dalam menentukan suatu hukum, tidak ditemukan keduanya, maka ijtihad atau tidak memberikan fatwa adalah jalannya. Mereka membenci ra’y serta menghindari fatwa dan istimbat kecuali bila terpaksa dan tidak ada kesempatan untuk mengelak. Program utama mereka adalah meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW. di masa tabi’it tabi’in, sumber hukum islam bertambah lagi, fatwa tabi’in, demikian seterusnya, generasi mendatang menjadikan fatwa generasi sebelumnya sebagai sumber hukum Islam.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pembukuan Hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi SAW dalam tulisan menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama Hadits, seperti Ibn Syihad al Zuhri agar membukukan hadits. Prestasi penghimpuna Hadits, semenjak dari asal himpun hingga pemilahan hadits-hadits sahih dari yang tidak sahih, adalah kebanggan tersendiri dalam menyelamatkan syari’at Islam. Dalam menetapka hukum Islam mereka mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1. Bila suatu masalah sudah disebut dalam al Qur’an maka seorang ulama tidak boleh beranjak kepada yang lain.
2. Bila kandungan ayat al Qur’an itu menunjukan berbagai kemungkinan maka mereka merujuk hadits yang berbicara hal yang sama dalam ayat tersebut.
3. Bila ayat al Qur’an tidak menerangkannya, barulah mereka mencari petunjuk dalam al Hadits, baik yang telah masyhur dipakai oleh ulama sebelumnya atau yang diriwayatkan oleh penduduk suatu daerah tertentu.
4. Bila hadits sudah ditemukan maka tidak boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan yurisprudensi/ pemikiran mujtahid.
5. Bila hadits tersebut tidak ditemukan, keputusan diambil berdasarkan pendapat umum (konsensus). Hasil consensus harus dippatuhi. Bila masih juga terdapat perbedaan pendapat dalam upaya consensus, maka keputusan diambil dari pendapat ulama yang paling wara’dan alim[10].
Dengan demikian, sebenarnya aliran ahlul hadits bukanlah aliran yang sama sekali menghindari penggunaan akal. Ketawadluan mereka malahirkan sikap kehati-hatian, sangat mengakui kelemahan akal kendati berkesan tidak berani menggunakan akal dan sangat mengutamakan penggunaan ajaran wahyu.
3.2. Ahlur Ra’y
Istilah ahlur ra’y digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum Islam yang memberi porsi akal lebih banyak dibanding dengan pemikir lainnya. Bila kelompok lain dalam menjawab persoalan hukum tampak terikat oleh teks nash (al Qur’an dan al Hadits) maka kelompok ahlur ra’y tampak tidak terikat, sebaliknya leluasa menggunakan pendapat akal. Sebenarnya kelompok ini bukanlah berarti kelompok yang meninggalkan hadits. Mereka juga menggunakan hadits untuk menetapkan hukum. Hanya mereka dalam melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nash syar’I itu mempunyai tujuan tertentu. Serta nash syar’i secara kumulatif bertujuan mendatangkan maslahat bagi manusia. Karena banyaknya persoalan yang merreka hadapi dan terbatasnya jumlah nash, maka mereka berupaya memikirkan rahasia yang terkandung dibalik nash yang dikenal dengan ta’lil al ahkam. Sedang kelompok ahlul Hadits lebih memperhatikan penguasaan hafalan nash dan mengamalkan sesuai dengan bunyi nash tersebut. Pada beberapa hadits, seperti :
1 . Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor kambing.
2 . Zakat fitrah itu satu gantang kurma atau gandum.
Ulama ahlur ra’y memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyr’, bukan redaksinya. Sehingga pemilik 40 ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa seekor kambing, tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa apa saja yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat minimal seharga satu ekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah. Bagi mereka zakat fitrah boleh dibayar dengan kurma atau gandum atau apa saja yang senilai dengannya. Jadi penyebutan “satu ekor kambing” pada zakat ternak dan “segantang kurma atau gandum” pada zakat fitrah adalah bukan tujuan tasyri’, tetapi contoh sarana mewujudkan kesejahtraan umat manusia sebagai tujuan tasyri’. Menurut ulama ahlul Hadits, pengeluaran zakat hewan ternak berupa satu ekor kambing dan zakat fitrah berupa segantang kurma atau gandum tidak perlu diganti, takut tidak sah[11].
4.         Pemikiran hukum Islam Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur
Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis, tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan Fiqh. Misalnya menurut Syi’ah, ijma’ dan qiyas bukan sumber hukum dalam Islam. Sebab ijma’ berarti kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad SAW. setelah kewafatannya dalam satu masa dan tentang hukum syar’i. padahal mereka tidak mau menerima pendapat selain dari orang Syi’ah sendiri. Demikian qiyas, sebab hukum hanya dapat diambil dari al Qur’an, as Sunnah dan para imam-imam mereka yang ma’sum[12].
Diantara pendapat mereka tentang hukum islam adalah sebagai berikut[13]:
1.         Nikah mut’ah adalah termasuk sysri’at Islam. Tidak termasuk golongan mereka jika tidak menghalalkannya.
2.             Wanita hanya dapat mewaris benda bergerak dari mayyit.
3.             Waktu shalat hanya ada tiga, yaitu pertama, Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), ketiga shubuh.
Sedangkan khawarij berpendapat bahwa pemimpin itu untuk umat dan umatlah yang berhak memilih dan memberhentikannya. Diantara pendapat mereka adalah bahwa perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam perbuatan[14].
Dalam babakan hukum Islam, kaum ini mempunyai beberapa pendapat diantaranya:
1.         Tidak ada hukuman rajam bagi wanita pezina mukhsan. Menurut mereka tidak ada dalil dalam al Qur’an tentang hukman rajam tersebut.
2.             Boleh berwasiat untuk ahli waris dan menolak hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris”. Sebab hadits ini dipandang bertentangan dengan ayat al Qur’an “diwajibkan atas kamu wasiat bagi kedua orang tua dan sanak kerabat apabila kamu hendak meninggal”.
3.             Thaharah untuk ibadah shalat adalah suci lahir batin. Kata-kata bohong, kotor, permusuhan dan lain-lain merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusah thaharah.
Pada poin kedua, nampak perbedaan pendapat dengan jumhur yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun sebelum turunnya ayat-ayat mawaris. Dengan kata lain, menurut jumhur ayat ini tidak berlaku sebagai legitimasi wasiat untuk ahli waris[15].
D. KESIMPULAN
Dari uraian yang dapat penulis sampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum pada era tabi’in mereka lebih mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Pada masa ini pula rasio (ra’y) mulai marak digunakan dalam memahami hukum islam. Ini bermulai ketika seorang Irak Ibrahim bin Yazid an Nakha’I yang hidup pada waktu itu memandang sulit kiranya jika memahami hukum Islam sesuai dengan teks harfiyah Qur’an dan Sunnah. Karena Irak adalah daerah yang mempunyai budaya, adat dan suasana kehidupan yang jauh berbeda dengan HIjaz yang merupakan bumi Nabi dan Hadits.Meski awalnya mendapatkan tentangan yang cukup keras dari kaum Hijaz, tapi pada periode berikutnya aliran ini akhirnya mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan.
Pada masa dinasti Umayyah, para penguasanya, kecuali Umar bin Abdul Aziz, lebih memfokuskan pada bidang politik serta masalah keagamaan diserahkan pada ulama setempat. Makanya masa ini lebih terkesan Negara adalah urusan penguasa dan Agama adalah urusan non penguasa. Dalam istilah lain dikatakan zakat bukanlah urusan pemerintah, tapi urusan agama. Zakat yang ada ikut campur Negara dianggap tidak sah.
E.        PENUTUP
“Tiada gading yang tak retak”, mungkin itulah kata-kata yang pas jika tulisan ini dibaca. Maka saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari pembaca. Semoga manfaat dan berkah “always” tercurahkan kepada siapapun yang telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Amin.
F. DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry ,Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar,1995, Surabaya: Risalah Gusti.
Jabir Fayyadh, Thaha, ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam,
Khallaf, Abdul Wahhab, Ikhtisar Sejarah Hukum Islam, 1985, Yogyakarta: Dua Dimensi.
Qoyyim, Ibnul,al Jauziy, I’lamul Muqi’in, Jilid 1,
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996, Jakarta: PT RajaGrafindo persada.

[1] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya, hlm. 49.
[2] Ibnul Qoyyim al Jauziy, I’lamul Muqi’in, Jilid 1, hlm. 74.
[3] Mun’im A. Sirry, op.cit. hlm.50.
[4] Mun’im A. Sirry, Ibid, hlm. 51
[5] Dr. Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, hlm.21.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ikhtisar sejarah Hukum Islam, hlm. 51.
[7] Dr. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintatasan Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm.65.
[8] Ibid, hlm.66.
[9] Ibid, hlm.67
[10] Ibid, hlm.68.
[11] Ibid, hlm.70.
[12] Mun’im A. Sirry, op.cit, hlm. 54
[13] Dr. Muh. Zuhri, Op.cit. hlm.62
[14] Op.Cit, hlm. 54
[15] Ibid, hlm. 57.

Post a Comment

Komentar Anda tidak merubah apapun...!

Lebih baru Lebih lama